Selasa, 15 Maret 2016

Coretan Kami

Coretan Kami

Oleh : Nadia Ramadhan

            “Kakak sedang mengecat pagar? Untuk apa?”
            “Tidak kah kau lihat, rumah kita seperti rumah hantu jika tetap membiarkan pagar ini setia pada kayu tuanya.”
            “Disebelah sana, kutaruh 2 macam bunga dengan pot pemberian Tuan Karman. Disampingnya ku rawat pohon belimbing dengan sangat baik. Siapa yang berani mengatakan rumah kita seperti rumah hantu?”
            “Tetap saja!”
            Aku duduk di batu besar yang dibawa oleh Tuan Serno, petani dari suku seberang. Beliau teman dekat ayah semasa sekolah. Ku pandangi dengan seksama rupa kakakku, kak Fahri. Kata Ayah, Fahri adalah nama pejuang dari negeri Arab dengan paras tampan, pemberani dan bertanggung jawab. Dan ku akui, kini semua itu berada pada kakak. Kakak  mewarisi alis yang tebal dan juga mata yang tajam dari ayah, sisanya gen keturunan ibu yang punya. Selalu ku pikirkan, suatu hari nanti kak Fahri akan menjadi seorang pengajar karena apapun yang ku tanya selalu ia jawab panjang lebar tanpa ku ketahui kebenarannya. Dari sudut pandang  manapun pada kakak, aku mengaguminya.
            Kenyamanan ku rasa saat kedua bola mataku mengikuti alunan indah gerak tangan kanan memegang kuas besar ayah. Tidak! Kali ini ku rasa suatu hari nanti, kakak akan menjadi seorang seniman. Tidak kah menyenangkan jika kakak ku adalah seniman besar karena karyanya melukis kami sekeluarga? Aku tertawa kecil.
            “kenapa tertawa?” kakak menyadari keadaan ku yang terlihat diluar normal.
            “Bukan apa-apa. Berikan kuasnya, biar ku bantu.” Sibuk ku cari kuas yang tidak terpakai.
            “Tidak perlu, beri kakak semangat dengan cium pipi, dahi, mata, hidung dan dahi dan hidung dan pipi dan mata dan pipi dan ..”
            “Kak Fahri mengulangi kembali kata-katanya.” Aku memotong ucapan kakak.
            “Tidak, siapa yang mengulangi kata dalam berbicara. Sudah, cium kakak.” Laki-laki tampan ini mengedepankan wajahnya, mendekatkan pada diriku. Dengan tanggap kedua tangan ku berada dibawah pipi bawah kakak dan ku kecup dengan sayang mulai dari pipi, hidung, mata dan dahi. Dan kakak menyundul kecil kepalaku sebagai akhiran, selalu seperti itu.
            “Berikan kuasnya.” Tangan mungilku meminta, ku tahu kuas yang tidak terpakai berada dibawah sepatu kakak. Ia telah gagal menyembunyikan dari ku, rambut-rambut kuas terlihat kegerahan sehingga mencuat-mencuat keluar. Aku melirik ke bawah sebentar lalu memandang kakak kembali.
            “Baiklah, karena cantik ku memaksa. Ku anggap yang tadi adalah syarat pertama sebagai pengecat handal keluarga kita. Syarat kedua tutup matamu. Kau lihatkan di sekitar ku tidak ada kuas tetapi setelah ini akan ada. Ini sihir!” ucapnya bersemangat, dan aku menurutinya.
            Kudengar hitungan dari satu sampai tiga dan selanjutya perintah untuk membuka mata. Yang kusangka akhirnya kenyataan. Kuas ukuran lebih kecil dari yang kakak pakai dengan hiasa daun jagung yang direbus dengan daun jati lalu di bentuk pita berwarna merah dan diikat dengan rumput liar yang telah kering agar menempel.
            “Indah, Nadia suka.” Lontarku dan ku lihat jejak sepatu kak Fahri yang masih membekas bersama pasir lembut.
            “Kau cat yang bagian belakang, kakak akan teruskan yang bagian depan.” Tegas komandan Fahri.
            “siap kak!” Hormat ku.
            Tak akan ku biaran setelah ini orang yang lewat di depan rumah ku memiliki pikiran bahwa rumah ku terlihat seperti rumah hantu. Ku ikuti cara kak Fahri, menutupi kayu tua dengan cat mulai bagian paling atas ke bawah dan begitu seterusnya, menggerakkan pada satu arah.
            “Boleh aku bernyanyi?” Salah satu cara ku untuk menghilangkan bosan yang tak lama lagi akan bertamu.
            “Tidak boleh. Kakak lebih suka jika Cantik menari.” Balas kakak tanpa memandang ku.
            “Nadia sedang tidak ingin menari. Kalau begitu kakak saja yang menyanyi. Aku mohon!” pintaku.
            “baiklah, akan ku nyanyikan lagu Surosunari.”
            “Nyanyikan dengan sempurna.”
            Aku mendengarkan dengan baik, menikmati setiap syair dan nadanya. Lagu Surosunari adalah lagu kesukaan kakak dan merupakan lagu suku kami yang jarang sekali dinyanyikan. Tanpa sadar aku mengikuti syair lagu yang dinyanyikan. Kami menyanyi bersama, saling menertawakan di tengah nyanyian dan saling mengejek karena suara kami tidak merdu. Cukup lama kami bernyanyi riang, kurang lebih 4 kali kami mengulang. Tak terasa pekerjaan telah selesai tepat pukul 11. Kayu tua telah tersamarkan oleh coretan hijau dan biru kami. Sedikit melelahkan karena kami ditemani oleh sinar matahari di tengah hari tetapi tetap menyenangkan.
            “Tak kusangkan secepat ini selesai. Senangnya.” Ucapku denga mundur selangkah memandangi hasil kerjaku. Sedikit ku jinjitkan kaki beralaskan sepatu hadiah ulang tahun dari keluarga Paman Tom, mengintip kegiatan kak Fahri. Ia sedang duduk bersila dan melukis di sudut bawah pagar.
            “Kemarilah!” ajak Kak Fahri yang ketahuan mengintip. Aku mendekat, dan aku juga duduk bersila.
            Dengan tangan kanan yang terkena coretan cat, ia tetap semangat melukis dengan kayu dengan bagian depan telah menjadi arang. Ia menggambar 2 wanita ayu. Berambut panjang yang sedikit bergelombang dan wanita satunya lagi dengan rambut lurus indah.
            “Nadia kah itu? Lalu siapa yang disampingnya?” Tanya ku bingung, aku merasa bahwa gadis yang disukai kakak tidak seperti itu definisi fisiknya.
            “yang ini adalah Cantik dan yang ini adalah Ibu. Mereka berdua ayu-ayu.”
            “wah indah sekali.”
            Dari kejauhan terdengar teriakkan memanggil “Abang”, Kak Fahri dan aku menoleh bersamaan menuju arah datang nya teriakkan itu. Terlihat Rafi, adik kami berlari tak karuan dengan kaleng panjang di tanga kirinya. Rafi sampai, mencoba mengatur napas nya sejenak dan ia mulai berbicara.
            “Abang, lihatlah.” Tepat disamping pelipisnya ia menunjukkan kaleng yang dibawa.
            “Kaleng apa ini?”
            “Abang tidak tahu? Ini kaleng berasal dari laut barat daya yang terkenal dengan hasil tangkap mutiara. Lihatlah, dibagian dasarnya ada mutiara yang dihancurkan lalu di taburkan dalam kaleng. Ini dalah cinderamata dengan harga tinggi.” Rafi menggebu-gebu menjelaskan.
            “Bagaimana bisa kau mendapatkannya?”
            “Lihat  juga ini. Kumbang batu, tali tambang, koin china. Semua ku dapatkan. Nadia ingin tahu bagaimana Rafi mendapatkan semua ini?” ucapnya dengan mendekat pada batu besar kami dan duduk melepas lelah.
            “Begini, saat aku bermain kapal perang bersama kawan yang lain tiba-tiba anak sombong jelek itu datang dan mengajak kami disana untuk bersaing. Ku bagi pasukan ku padanya, ia mengatakan siapa yang kalah harus memberi hadiah yang bernilai tinggi. Dengan santai ku kalahkan dia, karena dia sendiri tidak tahu cara bermain dengan benar. Akhirnya berkali-kali aku menang dan ini semua sebagai balasan atas kemenanganku.”
            “Dia yang tidak bisa atau kau mencurangi nya?” Tanya ku tak percaya.
            “Meski aku curang jika si sombong jelek itu tidak tahu bagaimana cara bermainnya, tidak masalah itu.” Tegas Rafi, dia mulai mengerutkan alis yang tipis seperti ku.
            “Sudahlah ayo masuk. Panas sekali, kita makan siang dahulu.” Penengah sebagai pahlawan datang. Datang karena ia merasa melihat kedua adiknya bertengkar akan membuat ia semakin lapar.
***
Diantara kami bertiga yang memiliki rupa dengan wajah orang Arab sempurna adalah Rafi. Ayah adalah keturunan arab generasi ke-3 dari keluarga besar, setelah menikah dengan ibu keturunan Arab ayah kepada anak-anak nya tidaklah terlihat betul. Rafi memiliki mata yang sayu seperti kebanyakan orang arab tetapi meninggalkan nuansa mata tajam, hidungnya mancung seperti ayah tetapi alisnya tipis seperti ibu. Susunan wajah nya mulai tulang rahang, tulang hidung dan tulang yang lain mengatakan bahwa dialah anak keturunan arab paling sempurna diantara kita bertiga. Kata ayah, Rafi adalah nama seorang penyanyi legendaris India berkeyakinan Islam yang sangat tampan, pernah ku sekali diperlihatkan gambar orang itu. Serasa rupa adik ku dengan Rafi penyanyi legendaris itu satu tipe. Tampan sekali. Rafi lebih sering ku panggil Adong, dalam suku kami “Adong” berarti adik laki-laki
            Kemudian pada diriku. Mata sayu, berambut keriting, setidaknya itulah yang terlihat jelas. Kata ayah, jika aku tertidur keluarlah raut wajah seperti kebanyakan gadis Arab. Sebenarnya, aku juga tidak tahu benar tidaknya itu. Jika dibandingkan dengan kakak, aku lebih terlihat banyak gen keturunan dari ayah. Lalu kebiasaan kami bertiga yang aneh, sejak kecil kakak memanggilku Cantik. Pada bahasa suku kami, Cantik adalah kakak perempuan. Sedangkan Rafi memanggilku langsung dengan nama ku. Aku tahu, itu tidak sopan tetapi kebiasaan itu susah dihilangkan. Tapi bagiku itu tak masalah.
***
Malam ini kami merayakan ulang tahun Rafi, tiga bulan kemudian ulang tahun kakak dan di akhir tahun, aku yang berulang tahun. Umur kami bertiga menunjukkan kami semakin dewasa. Kedewasaan ini membawa perubahan pada fisik yang mulai ku amati. Aku mulai tertarik dengan nama nya penampilan saat berpakaian, tidak banyak bermain di luaran sana, bersikap tidak kekanak-kanakan dan tertarik terhadap lawan jenis.
            “Suara Rafi terdengar berat, sekarang sama seperti suara kakak.” Ucapku saat perjalanan menuju sekolah, melewati kebun anggur Paman Gaben.
            “Tentu saja, kini aku  telah dewasa.” Bangga nya menjawab dengan tangan di masukan kedalam saku celana nya kini panjang celanannya terlihat tidak sampai menutupi mata kaki, adong bertambah tinggi.
            “Itu berarti baik.” Jawabku santai, memandang langit di pagi hari adalah anugerah terindah mengawali perjalanan harian ku. Aku menyapa Badi, Rafi kata dia adalah si Sombong Jelek. Pakaian nya selalu mewah dan yang kali ini terlihat baru.
            “Pagi Badi, pakaian mu bagus. Nadia suka.” Sapa ku.
            “Dasar kau badan besar yang jelek. Selalu kalah bermain kapal perang. Payah sekali.” Celetuk Rafi lalu berlari kencang melepas tawa. Ku yakin Badi akan diam di tempat karena dia tidak akan dapat menangkap Rafi yang larinya sekencang kancil.
            “Akan ku beri peringatan dia, tenang saja Badi. Sampai jumpa.” Ucapku ketakutan lalu meninggalkan dia sendiri. Aku sadar dia menggerutu tak jelas dengan alis yang dikerutkan. Itu menakutkan.
            Kejadian tadi pagi itu benar-benar kelewat, Rafi suka sekali mengejek Badi. Ku  tahu dia sombong, karena kesombongan nya itu adong suka sekali mempermainkan Badi.
***
            Panjang lebar ku nasehati adong di kamar, entah dia bisa berubah atau tidak karena selama aku memberi pencerahaan sorot matanya kemana-mana. Seakan tidak menganggapku. Menyebalkan! Tak terasa langitnya telah menunjukkan waktu sore, jiwa ku seakan terpanggil ke kebun rahasia. Kebiasaa ku sambil menunggu kakak pulang mencari ilmu.
“Siapa yang menghancurkan pot tanaman ku?” Aku berteriak tak karuan, tidak bisa menahan marah karena itu adalah pot peninggalan Tuan Karman semasa hidupnya untuk ku dan kini telah menjadi kepingan tanah liat.
            “Mana aku tahu. Abang mungkin.” Ucap Rafi dengan membawa Tupai hitam menyebalkan.
            “Seharian ini kakak tidak ada di rumah, siapa lagi kalau bukan adong.” Aku menuduh dengan suara yang cukup keras di samping rumah, mata ku mulai berkaca-kaca ingin menangis tetapi ku tahan.
            “Jangan asal menuduh. Memang nya aku selalu merusak barang mu? Sekalipun aku pelakunya, itu bukan masalah karena aku jarang merusak barang mu. Nadia bisa membeli lagi di Toko desa seberang. Akan ku antar, tenang saja.” Masih saja dia mengelak bahwa pelaku nya bukan dirinya, mencoba menjadi polos.
            “Bisakah adong dipercaya? Aku rasa tidak.” Ketus ku jawab. Aku berlari kecil ke kamar tidur, aku menangis sejadi-jadinya. Mulai ku dengar suara lembut ibu yang menasehati adong di luar. Bisa dibilang dewasa dari sudut pandang mana aku ini? Menahan emosi saja masi belum bisa. Ah, benar-benar.
            Tok tok tok …!!!
            “Keluarlah segera cantik, tidak apa. Semuanya sudah baik-baik saja.” Lembut suara ibu ku dengar dari luar. Dengan segera aku membuka pintu kamar, ibu melihat ku tersenyum sayang meski rupa ku kacau dengan mata sembab.
            “Kalau begitu temani ibu membuat obat di dapur, tidak perlu menangis sangat lama.” Lanjut wanita ayu ini.
            Aku menurut, di dapur ku duduk di kursi panjang dari kayu melihat ibu dari belakang mengaduk air yang di rebus sesekali memasukkan beberapa rempah-rempah.
            “Ibu dengar adong mendapat koin china, betul kah itu?” Tanya ibu menghancurkan kesunyian.
            “Aku tidak peduli.” Jawab ku singkat. Ibu menoleh kearah ku, melihatku sebentar lalu kembali konsentrasi pada pekerjaannya.
            “Semarah itu kah?”
            “Entah lah.”
            Rasanya terlalu lama murung membuat ku lapar, dengan cepat aku menuju lemari makanan. Dua kotak sereal, jagung rebus, sayur daun singkong dan kue nanas. Tunggu, beberapa hari kemarin ibu tidak membuat kue nanas. Biarlah, tanpa beban ku makan saja. Keadaan sedang kacau keliahatannya menyenangkan makan kue nanas. Ini lezat sekali.
            “Aku kembali.” Sapa kak Fahri datang, kebiasaa nya satu tempat yang didatangi setelah melakukan kegiatan di luar rumah adalah menuju dapur.
            “Sudah datang, lekas ambil air.” Sahut ibu sambil memeluk kakak.
            “Tentu ibu.” Balas senyum kakak manis sekali.
            “Tunggu, Cantik kau dekat lemari makanan kau makan apa” Dengan cepat kakak menghampiri ku, membuka pintu lemari dengan sergap dan terkejutlah dia.
            “Kau memakan kue ku? Kue nanas ku?” Tanya kak Fahri dengan keras. Aku ketakutan, sepotong kue pun belum selesai ku kunyah kini langsung ku telan meski sedikit sakit di tenggorokan.
            “Ah, ini kue kakak. Maaf kak, aku tidak sengaja memakan nya. Ku lihat ada yang berbeda dari isi lemari jadi ku makan saja.”
            “Tidak kah kau membaca catatan ku di atas pintu lemari ini? Aku sudah mengatakan tidak ada yang boleh memakan kue ini. Nadia, kau merusak rencana ku.” Tegas kakak dengan meremas catatan kecilnya, dan kini aku membuat kakak marah. Aku berdosa.
            “Sungguh aku tidak sengaja kak.”
            “Kalau barang itu bukan miliknya jangan asal ambil jadi miliknya sendiri. Ini kue sebagai hadiah untuk Marika, butuh perjuangan untuk membeli kue ini. Kau, benar-benar kelewatan Nadia.” Kakak pergi, meninggalkan ku dan ibu di dapur. Dengan jelas raut wajahnya tidak dapat menahan emosinya. Hal yang ku harapkan dapat membawa suasana baik dalam hati ku ternyata membuatku semakin kacau.
            Semenjak kejadian-kejadian yang membuat kami saling berjauhan antar sesama. Seakan semua yang kami lakukan untuk membantu adalah hal yang seharusnya tidak di lakukan karena itu akan berdampak fatal dan akhirnya menimbulkan masalah baru. Dan begitu lah setiap harinya. Kami tidak banyak berbicara, tidak memperdulikan satu sama lain dan individual. Ini mengerikan, rumah kami bukan seperti rumah hantu melainkan penghuni nya adalah 3 hantu. aku merasakan kami semakin di batasi oleh jarak, jarang sekali ibu melihat kami bertiga bergurau bersama, melihat film bersama dan segala sesuatu nya yang bersama.
            Terus ku lakukan untuk menyikapi semua permasalah yang datang dengan bersikap dewasa, untuk tidak selalu menyalahkan kakak ataupun adong meski terkadang mereka lah penyebab permasalah datang. Tetapi itu sangat tidak mudah.
***
            Hari ini libur sekolah, tentunya kami sekeluarga berkumpul di rumah. Ku sibukkan kegiatan ku dengan bertanam di kebun rahasia dan ku lihat Rafi asyik bermain bola dengan teman-teman nya di halaman depan lalu kakak mendengarkan radio di atas pohon mangga ayah.
            “Adong, tolong ambilkan pot bunga yang ada di ujung sana.” Ucapku meminta bantuan, aku mencoba untuk memulai kearaban dengan saudara ku kembali.
            “Siapa peduli, Nadia ambil saja sendiri. Aku sedang bermain bola ini.” Jawab santai Rafi dengan kaki yang mengocak-ngocak bola yang dihadang oleh lawannya. Hati ku mulai memanas mendengar jawaban dari adong, tidak kah dia menghargai ku yang ingin mengembalikan masa kebersamaan kita. Dasar adong menyebalkan.
            “Tidak bisa kah kau berbicara dengan sopan? Aku ini Cantik mu. Bukan musuh mu.” Tegas ku yang berteriak di pinggiran garis yang di buat sebagai batasan bermain bola nya. Rafi tidak memperdulikan, ia tetap asyik bermain dan ia masih bisa tersenyum meski tanpa disadari ia telah melukai perasaan sudaranya sendiri. Dan kini rasanya tak ingin menangis lagi, aku sudah beradaptasi dengan suasana yang buruk seperti ini.
            “Ah, baiklah. Karena kau tidak memperduliku akupun sama.” Ini lontarku yang leih keras lagi.
            “Apaan? Ganggu aja.”
            Ku lirik sebentar pot tanaman yang ada di ujung tempat menjemur pakaian dengan emosi, tidak ada keinginan lagi melanjutkan kegiatan bertanam ini. Hilang sudah karena pertengkaran kecil yang belum berujung. Lalu kuputuskan masuk kedalam rumah. Dan kak Fahri menyusul.
            “Ibu membuatkan makanan ringan, coba kau mencicipinya.” Lembut ibu menghampiriku di ruang keluarga dengan membawa sepiring kue keringnya .
            “Tidak ibu, nanti saja. Aku akan ambil. Terimakasih.” Singkat ku jawab, tidak akan ku ceritakan pertengkaranku dengan adong karena itu akan melukai hatinya.
            “Dimana sopan santun mu? Jika ada orang yang lebih tua menawarkan sesuatu kau seharusnya langsung menerima nya. Bagaimana kau ini.” Celetuk dari kak Fahri yang datang dengan tanpa ku sadari. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku terdiam, apa yang dikatakan kakak itu benar tetapi saat menyampaikan pada ku yang tidak ku sukai. Kakak berbicara dengan nada menyentak. Tidak kah lebih baik jika memberi nasehat dengan nada yang biasa-biasa saja?
            “Maafkan aku, maafkan aku ibu.” Lirik dengan menunduk, aku merasa panas kembali. Hati ku penuh api membara.
            “Sudahlah, tidak apa. Ini tidak perlu dipermasalahkan seperti ini.”
            “Tidak bisa begitu ibu. Cantik itu harus di  beri nasehat agar lebih sopan dengan ibu.”
            Aku pasrah, sedih ku rasa ketika semuanya menjauh. Ku yang menjauh atau saudara-saudara ku yang menjauh. Bersikap dewasa itu melelahkan, awalnya jalan yang ku tempuh untuk mengenmbalikan kebersamaan kami adalah dengan bersikap dewasa. Untuk tidak membalas lebih lanjut perkataan adong maupun kakak yang membentak pada ku ternyata semua nya tidak berhasil. Hilang sudah semua. Dua orang ini telah berubah. Kekuatan yang turun dari langit, jika aku boleh memilih aku ingin memiliki kemampuan mengulang kembali masa-masa dimana kami masih berada pada keadaan polos serba natural dengan rasa ego yang masih rendah, kelucuan tingkah laku kami dan saat-saat dimana kami saling mencari jika diantara kami bertiga tidak ada di rumah.
***
            Ibu terlihat sedih. Raut wajah nya terlihat lesu dan juga tidak bersemangat. Apakah ini semua karena kami? Tidak kah ku pikirkan bagaimana perasaan ibu melihat kami yang bertengkar sesuka hati seperti ini. Dengan cepat, ku yang sedari tadi berada di belakang ibu memeluknya dari belakang. Aku menangis.
            “Ibu, aku tahu aku telah membuat perasaan ibu terluka. Maafkan Nadia.” Ucap ku lirih dengan sesekali air mata itu mengarah pada bibirku. Ibu berbalik, memandang ku tersenyum.
            “Melihat anak ibu yang selalu bertengkar setiap harinya itu membuat ibu sedih. Sesama saudara harus saling melengkapi, tidak boleh menang sendiri. Tidak ada yang menginginkan tali persaudaraan nya hancur hanya karena keegoisan termasuk ibu. “ tutur beliau.
            “Lalu aku harus bagaimana?”
            “Akan lebih baik jika Nadia yang meminta maaf dahulu dengan kakak maupun adong. Jangan melihat siapa yang membuat masalah tetapi berpikirlah cepat untuk meminta maaf. Allah menyukai hambanya yang seperti itu.” Tambahnya kembali.
            Hati ku tersentuh dengan setiap kata yang keluar dari hati nurani ibu. Seharusnya aku berpikir suci seperti itu dengan tidak mengedepankan emosi ku seperti ini. Tak memperpanjang waktu, ku temui kakak di kamar nya. Ku buka perlahan pintu kayu yang aku ukir bagian belakangnya dengan nama marga keluarga kami.
            “Kakak.” Ucapku perlahan mengawali. Aku tertunduk lirih
            “Kenapa?” kakak memberi respon yang ku harapkan, menjawab dengan lembut. Ku mendekat dan memeluk kakak, ku kembali menangis di pelukan kakak.
            “Iya, kakak juga memninta maaf. Kakak salah selama ini. Kita sama-sama salah. Kau tahu, kita seperti ini karena kita akan dewasa. Sudah, jangan menangis.”
            “Seperti itu kah?”
            “Tentu Cantik. Kakak juga merasa sedih setiap kita bertengkar, kau menangis di dalam kamar. Itu menyedihkan sekali.” candanya.
            “Aku memang terlihat menyedihkan.” Jawabku lalu tertawa kecil di tengah isak tangis ku. Tak lama Rafi juga menghampiri kami di kamar, dia membawa pot bunga baru yang sangat indah.
            “Nadia, aku tahu selama ini aku salah. Aku sering berbicara tidak sopan. Maafkan aku. Sebagai gantinya, ku berikan hadiah pot bunga ini. Pot Bungan ini sangat menarik tidak kah kau lihat…” aku memeluknya, lantas ia berhenti berbicara.
            “Terimakasih atas pot bunganya. Nadia sayang Adong. Nadia juga minta maaf yah.” Jawabku, lalu ku kecup matanya, hidungnya, pipinya dan dahinya. kini, kami bersama kembali.
Segala sesuatu yang hilang kini hadir kembali. Keakraban, kebersamaan, candaan dan tingkah laku konyol kami telah berdampingan dengan kami. Tak akan ku ulangi perbuatan itu, ku jadikan pelajaran agar lebih bisa memahami watak ku yang sesungguhnya.
***
Hari ini ayah pulang, kurang lebih telah 2 bulan kami tidak bertemu dengan ayah. Atasan ayah dengan tiba-tiba memindah tempat kerja ayah ke luar desa yang cukup jauh. Setiap hari kami merindu pada ayah, tetapi karena kesabaran kami menunggu akhirnya yang diinginkan terjadi. Akan ku ceritakan semuanya pada ayah, pertengkaran-pertengakaran alami kami. Sedikit malu rasanya. Bertepatan hari ini ulang tahun ayah.
            “Cantik, kau bawa hadiah ulang tahun untuk ayah yah, biar kakak dan adik yang membawa kuenya.”

            “baik ibu.”                               

    ̶̶ END ̶

0 komentar:

Posting Komentar