Coretan Kami
Oleh : Nadia Ramadhan
“Kakak
sedang mengecat pagar? Untuk apa?”
“Tidak kah
kau lihat, rumah kita seperti rumah hantu jika tetap membiarkan pagar ini setia
pada kayu tuanya.”
“Disebelah
sana, kutaruh 2 macam bunga dengan pot pemberian Tuan Karman. Disampingnya ku
rawat pohon belimbing dengan sangat baik. Siapa yang berani mengatakan rumah
kita seperti rumah hantu?”
“Tetap
saja!”
Aku duduk
di batu besar yang dibawa oleh Tuan Serno, petani dari suku seberang. Beliau
teman dekat ayah semasa sekolah. Ku pandangi dengan seksama rupa kakakku, kak
Fahri. Kata Ayah, Fahri adalah nama pejuang dari negeri Arab dengan paras tampan,
pemberani dan bertanggung jawab. Dan ku akui, kini semua itu berada pada kakak.
Kakak mewarisi alis yang tebal dan juga
mata yang tajam dari ayah, sisanya gen keturunan ibu yang punya. Selalu ku
pikirkan, suatu hari nanti kak Fahri akan menjadi seorang pengajar karena
apapun yang ku tanya selalu ia jawab panjang lebar tanpa ku ketahui
kebenarannya. Dari sudut pandang manapun
pada kakak, aku mengaguminya.
Kenyamanan
ku rasa saat kedua bola mataku mengikuti alunan indah gerak tangan kanan
memegang kuas besar ayah. Tidak! Kali ini ku rasa suatu hari nanti, kakak akan
menjadi seorang seniman. Tidak kah menyenangkan jika kakak ku adalah seniman
besar karena karyanya melukis kami sekeluarga? Aku tertawa kecil.
“kenapa
tertawa?” kakak menyadari keadaan ku yang terlihat diluar normal.
“Bukan
apa-apa. Berikan kuasnya, biar ku bantu.” Sibuk ku cari kuas yang tidak
terpakai.
“Tidak
perlu, beri kakak semangat dengan cium pipi, dahi, mata, hidung dan dahi dan
hidung dan pipi dan mata dan pipi dan ..”
“Kak Fahri
mengulangi kembali kata-katanya.” Aku memotong ucapan kakak.
“Tidak,
siapa yang mengulangi kata dalam berbicara. Sudah, cium kakak.” Laki-laki
tampan ini mengedepankan wajahnya, mendekatkan pada diriku. Dengan tanggap
kedua tangan ku berada dibawah pipi bawah kakak dan ku kecup dengan sayang
mulai dari pipi, hidung, mata dan dahi. Dan kakak menyundul kecil kepalaku
sebagai akhiran, selalu seperti itu.
“Berikan
kuasnya.” Tangan mungilku meminta, ku tahu kuas yang tidak terpakai berada
dibawah sepatu kakak. Ia telah gagal menyembunyikan dari ku, rambut-rambut kuas
terlihat kegerahan sehingga mencuat-mencuat keluar. Aku melirik ke bawah
sebentar lalu memandang kakak kembali.
“Baiklah,
karena cantik ku memaksa. Ku anggap yang tadi adalah syarat pertama sebagai
pengecat handal keluarga kita. Syarat kedua tutup matamu. Kau lihatkan di
sekitar ku tidak ada kuas tetapi setelah ini akan ada. Ini sihir!” ucapnya
bersemangat, dan aku menurutinya.
Kudengar
hitungan dari satu sampai tiga dan selanjutya perintah untuk membuka mata. Yang
kusangka akhirnya kenyataan. Kuas ukuran lebih kecil dari yang kakak pakai
dengan hiasa daun jagung yang direbus dengan daun jati lalu di bentuk pita
berwarna merah dan diikat dengan rumput liar yang telah kering agar menempel.
“Indah,
Nadia suka.” Lontarku dan ku lihat jejak sepatu kak Fahri yang masih membekas
bersama pasir lembut.
“Kau cat
yang bagian belakang, kakak akan teruskan yang bagian depan.” Tegas komandan
Fahri.
“siap kak!”
Hormat ku.
Tak akan ku
biaran setelah ini orang yang lewat di depan rumah ku memiliki pikiran bahwa
rumah ku terlihat seperti rumah hantu. Ku ikuti cara kak Fahri, menutupi kayu
tua dengan cat mulai bagian paling atas ke bawah dan begitu seterusnya,
menggerakkan pada satu arah.
“Boleh aku
bernyanyi?” Salah satu cara ku untuk menghilangkan bosan yang tak lama lagi
akan bertamu.
“Tidak
boleh. Kakak lebih suka jika Cantik menari.” Balas kakak tanpa memandang ku.
“Nadia sedang
tidak ingin menari. Kalau begitu kakak saja yang menyanyi. Aku mohon!” pintaku.
“baiklah,
akan ku nyanyikan lagu Surosunari.”
“Nyanyikan
dengan sempurna.”
Aku
mendengarkan dengan baik, menikmati setiap syair dan nadanya. Lagu Surosunari
adalah lagu kesukaan kakak dan merupakan lagu suku kami yang jarang sekali
dinyanyikan. Tanpa sadar aku mengikuti syair lagu yang dinyanyikan. Kami
menyanyi bersama, saling menertawakan di tengah nyanyian dan saling mengejek
karena suara kami tidak merdu. Cukup lama kami bernyanyi riang, kurang lebih 4
kali kami mengulang. Tak terasa pekerjaan telah selesai tepat pukul 11. Kayu
tua telah tersamarkan oleh coretan hijau dan biru kami. Sedikit melelahkan karena
kami ditemani oleh sinar matahari di tengah hari tetapi tetap menyenangkan.
“Tak
kusangkan secepat ini selesai. Senangnya.” Ucapku denga mundur selangkah
memandangi hasil kerjaku. Sedikit ku jinjitkan kaki beralaskan sepatu hadiah
ulang tahun dari keluarga Paman Tom, mengintip kegiatan kak Fahri. Ia sedang
duduk bersila dan melukis di sudut bawah pagar.
“Kemarilah!”
ajak Kak Fahri yang ketahuan mengintip. Aku mendekat, dan aku juga duduk
bersila.
Dengan
tangan kanan yang terkena coretan cat, ia tetap semangat melukis dengan kayu
dengan bagian depan telah menjadi arang. Ia menggambar 2 wanita ayu. Berambut
panjang yang sedikit bergelombang dan wanita satunya lagi dengan rambut lurus
indah.
“Nadia kah
itu? Lalu siapa yang disampingnya?” Tanya ku bingung, aku merasa bahwa gadis
yang disukai kakak tidak seperti itu definisi fisiknya.
“yang ini
adalah Cantik dan yang ini adalah Ibu. Mereka berdua ayu-ayu.”
“wah indah
sekali.”
Dari
kejauhan terdengar teriakkan memanggil “Abang”, Kak Fahri dan aku menoleh
bersamaan menuju arah datang nya teriakkan itu. Terlihat Rafi, adik kami
berlari tak karuan dengan kaleng panjang di tanga kirinya. Rafi sampai, mencoba
mengatur napas nya sejenak dan ia mulai berbicara.
“Abang,
lihatlah.” Tepat disamping pelipisnya ia menunjukkan kaleng yang dibawa.
“Kaleng apa
ini?”
“Abang
tidak tahu? Ini kaleng berasal dari laut barat daya yang terkenal dengan hasil
tangkap mutiara. Lihatlah, dibagian dasarnya ada mutiara yang dihancurkan lalu
di taburkan dalam kaleng. Ini dalah cinderamata dengan harga tinggi.” Rafi
menggebu-gebu menjelaskan.
“Bagaimana
bisa kau mendapatkannya?”
“Lihat juga ini. Kumbang batu, tali tambang, koin
china. Semua ku dapatkan. Nadia ingin tahu bagaimana Rafi mendapatkan semua
ini?” ucapnya dengan mendekat pada batu besar kami dan duduk melepas lelah.
“Begini,
saat aku bermain kapal perang bersama kawan yang lain tiba-tiba anak sombong
jelek itu datang dan mengajak kami disana untuk bersaing. Ku bagi pasukan ku
padanya, ia mengatakan siapa yang kalah harus memberi hadiah yang bernilai
tinggi. Dengan santai ku kalahkan dia, karena dia sendiri tidak tahu cara
bermain dengan benar. Akhirnya berkali-kali aku menang dan ini semua sebagai
balasan atas kemenanganku.”
“Dia yang
tidak bisa atau kau mencurangi nya?” Tanya ku tak percaya.
“Meski aku
curang jika si sombong jelek itu tidak tahu bagaimana cara bermainnya, tidak
masalah itu.” Tegas Rafi, dia mulai mengerutkan alis yang tipis seperti ku.
“Sudahlah
ayo masuk. Panas sekali, kita makan siang dahulu.” Penengah sebagai pahlawan
datang. Datang karena ia merasa melihat kedua adiknya bertengkar akan membuat
ia semakin lapar.
***
Diantara kami bertiga yang memiliki
rupa dengan wajah orang Arab sempurna adalah Rafi. Ayah adalah keturunan arab
generasi ke-3 dari keluarga besar, setelah menikah dengan ibu keturunan Arab
ayah kepada anak-anak nya tidaklah terlihat betul. Rafi memiliki mata yang sayu
seperti kebanyakan orang arab tetapi meninggalkan nuansa mata tajam, hidungnya mancung
seperti ayah tetapi alisnya tipis seperti ibu. Susunan wajah nya mulai tulang
rahang, tulang hidung dan tulang yang lain mengatakan bahwa dialah anak
keturunan arab paling sempurna diantara kita bertiga. Kata ayah, Rafi adalah
nama seorang penyanyi legendaris India berkeyakinan Islam yang sangat tampan,
pernah ku sekali diperlihatkan gambar orang itu. Serasa rupa adik ku dengan
Rafi penyanyi legendaris itu satu tipe. Tampan sekali. Rafi lebih sering ku
panggil Adong, dalam suku kami “Adong” berarti adik laki-laki
Kemudian
pada diriku. Mata sayu, berambut keriting, setidaknya itulah yang terlihat
jelas. Kata ayah, jika aku tertidur keluarlah raut wajah seperti kebanyakan
gadis Arab. Sebenarnya, aku juga tidak tahu benar tidaknya itu. Jika dibandingkan
dengan kakak, aku lebih terlihat banyak gen keturunan dari ayah. Lalu kebiasaan
kami bertiga yang aneh, sejak kecil kakak memanggilku Cantik. Pada bahasa suku
kami, Cantik adalah kakak perempuan. Sedangkan Rafi memanggilku langsung dengan
nama ku. Aku tahu, itu tidak sopan tetapi kebiasaan itu susah dihilangkan. Tapi
bagiku itu tak masalah.
***
Malam ini kami merayakan ulang tahun
Rafi, tiga bulan kemudian ulang tahun kakak dan di akhir tahun, aku yang
berulang tahun. Umur kami bertiga menunjukkan kami semakin dewasa. Kedewasaan
ini membawa perubahan pada fisik yang mulai ku amati. Aku mulai tertarik dengan
nama nya penampilan saat berpakaian, tidak banyak bermain di luaran sana,
bersikap tidak kekanak-kanakan dan tertarik terhadap lawan jenis.
“Suara Rafi
terdengar berat, sekarang sama seperti suara kakak.” Ucapku saat perjalanan
menuju sekolah, melewati kebun anggur Paman Gaben.
“Tentu
saja, kini aku telah dewasa.” Bangga nya
menjawab dengan tangan di masukan kedalam saku celana nya kini panjang celanannya
terlihat tidak sampai menutupi mata kaki, adong bertambah tinggi.
“Itu
berarti baik.” Jawabku santai, memandang langit di pagi hari adalah anugerah
terindah mengawali perjalanan harian ku. Aku menyapa Badi, Rafi kata dia adalah
si Sombong Jelek. Pakaian nya selalu mewah dan yang kali ini terlihat baru.
“Pagi Badi,
pakaian mu bagus. Nadia suka.” Sapa ku.
“Dasar kau
badan besar yang jelek. Selalu kalah bermain kapal perang. Payah sekali.”
Celetuk Rafi lalu berlari kencang melepas tawa. Ku yakin Badi akan diam di
tempat karena dia tidak akan dapat menangkap Rafi yang larinya sekencang
kancil.
“Akan ku
beri peringatan dia, tenang saja Badi. Sampai jumpa.” Ucapku ketakutan lalu
meninggalkan dia sendiri. Aku sadar dia menggerutu tak jelas dengan alis yang
dikerutkan. Itu menakutkan.
Kejadian
tadi pagi itu benar-benar kelewat, Rafi suka sekali mengejek Badi. Ku tahu dia sombong, karena kesombongan nya itu
adong suka sekali mempermainkan Badi.
***
Panjang lebar
ku nasehati adong di kamar, entah dia bisa berubah atau tidak karena selama aku
memberi pencerahaan sorot matanya kemana-mana. Seakan tidak menganggapku.
Menyebalkan! Tak terasa langitnya telah menunjukkan waktu sore, jiwa ku seakan
terpanggil ke kebun rahasia. Kebiasaa ku sambil menunggu kakak pulang mencari
ilmu.
“Siapa yang menghancurkan pot tanaman
ku?” Aku berteriak tak karuan, tidak bisa menahan marah karena itu adalah pot
peninggalan Tuan Karman semasa hidupnya untuk ku dan kini telah menjadi
kepingan tanah liat.
“Mana aku
tahu. Abang mungkin.” Ucap Rafi dengan membawa Tupai hitam menyebalkan.
“Seharian
ini kakak tidak ada di rumah, siapa lagi kalau bukan adong.” Aku menuduh dengan
suara yang cukup keras di samping rumah, mata ku mulai berkaca-kaca ingin menangis
tetapi ku tahan.
“Jangan
asal menuduh. Memang nya aku selalu merusak barang mu? Sekalipun aku pelakunya,
itu bukan masalah karena aku jarang merusak barang mu. Nadia bisa membeli lagi
di Toko desa seberang. Akan ku antar, tenang saja.” Masih saja dia mengelak
bahwa pelaku nya bukan dirinya, mencoba menjadi polos.
“Bisakah
adong dipercaya? Aku rasa tidak.” Ketus ku jawab. Aku berlari kecil ke kamar
tidur, aku menangis sejadi-jadinya. Mulai ku dengar suara lembut ibu yang
menasehati adong di luar. Bisa dibilang dewasa dari sudut pandang mana aku ini?
Menahan emosi saja masi belum bisa. Ah, benar-benar.
Tok tok tok
…!!!
“Keluarlah
segera cantik, tidak apa. Semuanya sudah baik-baik saja.” Lembut suara ibu ku
dengar dari luar. Dengan segera aku membuka pintu kamar, ibu melihat ku tersenyum
sayang meski rupa ku kacau dengan mata sembab.
“Kalau
begitu temani ibu membuat obat di dapur, tidak perlu menangis sangat lama.”
Lanjut wanita ayu ini.
Aku
menurut, di dapur ku duduk di kursi panjang dari kayu melihat ibu dari belakang
mengaduk air yang di rebus sesekali memasukkan beberapa rempah-rempah.
“Ibu dengar
adong mendapat koin china, betul kah itu?” Tanya ibu menghancurkan kesunyian.
“Aku tidak
peduli.” Jawab ku singkat. Ibu menoleh kearah ku, melihatku sebentar lalu
kembali konsentrasi pada pekerjaannya.
“Semarah
itu kah?”
“Entah
lah.”
Rasanya
terlalu lama murung membuat ku lapar, dengan cepat aku menuju lemari makanan.
Dua kotak sereal, jagung rebus, sayur daun singkong dan kue nanas. Tunggu,
beberapa hari kemarin ibu tidak membuat kue nanas. Biarlah, tanpa beban ku
makan saja. Keadaan sedang kacau keliahatannya menyenangkan makan kue nanas.
Ini lezat sekali.
“Aku
kembali.” Sapa kak Fahri datang, kebiasaa nya satu tempat yang didatangi
setelah melakukan kegiatan di luar rumah adalah menuju dapur.
“Sudah
datang, lekas ambil air.” Sahut ibu sambil memeluk kakak.
“Tentu
ibu.” Balas senyum kakak manis sekali.
“Tunggu,
Cantik kau dekat lemari makanan kau makan apa” Dengan cepat kakak menghampiri
ku, membuka pintu lemari dengan sergap dan terkejutlah dia.
“Kau
memakan kue ku? Kue nanas ku?” Tanya kak Fahri dengan keras. Aku ketakutan,
sepotong kue pun belum selesai ku kunyah kini langsung ku telan meski sedikit
sakit di tenggorokan.
“Ah, ini
kue kakak. Maaf kak, aku tidak sengaja memakan nya. Ku lihat ada yang berbeda
dari isi lemari jadi ku makan saja.”
“Tidak kah
kau membaca catatan ku di atas pintu lemari ini? Aku sudah mengatakan tidak ada
yang boleh memakan kue ini. Nadia, kau merusak rencana ku.” Tegas kakak dengan
meremas catatan kecilnya, dan kini aku membuat kakak marah. Aku berdosa.
“Sungguh
aku tidak sengaja kak.”
“Kalau
barang itu bukan miliknya jangan asal ambil jadi miliknya sendiri. Ini kue
sebagai hadiah untuk Marika, butuh perjuangan untuk membeli kue ini. Kau, benar-benar
kelewatan Nadia.” Kakak pergi, meninggalkan ku dan ibu di dapur. Dengan jelas
raut wajahnya tidak dapat menahan emosinya. Hal yang ku harapkan dapat membawa
suasana baik dalam hati ku ternyata membuatku semakin kacau.
Semenjak
kejadian-kejadian yang membuat kami saling berjauhan antar sesama. Seakan semua
yang kami lakukan untuk membantu adalah hal yang seharusnya tidak di lakukan
karena itu akan berdampak fatal dan akhirnya menimbulkan masalah baru. Dan
begitu lah setiap harinya. Kami tidak banyak berbicara, tidak memperdulikan
satu sama lain dan individual. Ini mengerikan, rumah kami bukan seperti rumah
hantu melainkan penghuni nya adalah 3 hantu. aku merasakan kami semakin di
batasi oleh jarak, jarang sekali ibu melihat kami bertiga bergurau bersama,
melihat film bersama dan segala sesuatu nya yang bersama.
Terus ku
lakukan untuk menyikapi semua permasalah yang datang dengan bersikap dewasa,
untuk tidak selalu menyalahkan kakak ataupun adong meski terkadang mereka lah
penyebab permasalah datang. Tetapi itu sangat tidak mudah.
***
Hari ini
libur sekolah, tentunya kami sekeluarga berkumpul di rumah. Ku sibukkan
kegiatan ku dengan bertanam di kebun rahasia dan ku lihat Rafi asyik bermain
bola dengan teman-teman nya di halaman depan lalu kakak mendengarkan radio di
atas pohon mangga ayah.
“Adong,
tolong ambilkan pot bunga yang ada di ujung sana.” Ucapku meminta bantuan, aku
mencoba untuk memulai kearaban dengan saudara ku kembali.
“Siapa
peduli, Nadia ambil saja sendiri. Aku sedang bermain bola ini.” Jawab santai
Rafi dengan kaki yang mengocak-ngocak bola yang dihadang oleh lawannya. Hati ku
mulai memanas mendengar jawaban dari adong, tidak kah dia menghargai ku yang
ingin mengembalikan masa kebersamaan kita. Dasar adong menyebalkan.
“Tidak bisa
kah kau berbicara dengan sopan? Aku ini Cantik mu. Bukan musuh mu.” Tegas ku
yang berteriak di pinggiran garis yang di buat sebagai batasan bermain bola
nya. Rafi tidak memperdulikan, ia tetap asyik bermain dan ia masih bisa
tersenyum meski tanpa disadari ia telah melukai perasaan sudaranya sendiri. Dan
kini rasanya tak ingin menangis lagi, aku sudah beradaptasi dengan suasana yang
buruk seperti ini.
“Ah,
baiklah. Karena kau tidak memperduliku akupun sama.” Ini lontarku yang leih
keras lagi.
“Apaan?
Ganggu aja.”
Ku lirik
sebentar pot tanaman yang ada di ujung tempat menjemur pakaian dengan emosi,
tidak ada keinginan lagi melanjutkan kegiatan bertanam ini. Hilang sudah karena
pertengkaran kecil yang belum berujung. Lalu kuputuskan masuk kedalam rumah.
Dan kak Fahri menyusul.
“Ibu
membuatkan makanan ringan, coba kau mencicipinya.” Lembut ibu menghampiriku di
ruang keluarga dengan membawa sepiring kue keringnya .
“Tidak ibu,
nanti saja. Aku akan ambil. Terimakasih.” Singkat ku jawab, tidak akan ku
ceritakan pertengkaranku dengan adong karena itu akan melukai hatinya.
“Dimana
sopan santun mu? Jika ada orang yang lebih tua menawarkan sesuatu kau
seharusnya langsung menerima nya. Bagaimana kau ini.” Celetuk dari kak Fahri
yang datang dengan tanpa ku sadari. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku
terdiam, apa yang dikatakan kakak itu benar tetapi saat menyampaikan pada ku
yang tidak ku sukai. Kakak berbicara dengan nada menyentak. Tidak kah lebih
baik jika memberi nasehat dengan nada yang biasa-biasa saja?
“Maafkan
aku, maafkan aku ibu.” Lirik dengan menunduk, aku merasa panas kembali. Hati ku
penuh api membara.
“Sudahlah,
tidak apa. Ini tidak perlu dipermasalahkan seperti ini.”
“Tidak bisa
begitu ibu. Cantik itu harus di beri
nasehat agar lebih sopan dengan ibu.”
Aku pasrah,
sedih ku rasa ketika semuanya menjauh. Ku yang menjauh atau saudara-saudara ku
yang menjauh. Bersikap dewasa itu melelahkan, awalnya jalan yang ku tempuh
untuk mengenmbalikan kebersamaan kami adalah dengan bersikap dewasa. Untuk
tidak membalas lebih lanjut perkataan adong maupun kakak yang membentak pada ku
ternyata semua nya tidak berhasil. Hilang sudah semua. Dua orang ini telah
berubah. Kekuatan yang turun dari langit, jika aku boleh memilih aku ingin
memiliki kemampuan mengulang kembali masa-masa dimana kami masih berada pada
keadaan polos serba natural dengan rasa ego yang masih rendah, kelucuan tingkah
laku kami dan saat-saat dimana kami saling mencari jika diantara kami bertiga
tidak ada di rumah.
***
Ibu
terlihat sedih. Raut wajah nya terlihat lesu dan juga tidak bersemangat. Apakah
ini semua karena kami? Tidak kah ku pikirkan bagaimana perasaan ibu melihat
kami yang bertengkar sesuka hati seperti ini. Dengan cepat, ku yang sedari tadi
berada di belakang ibu memeluknya dari belakang. Aku menangis.
“Ibu, aku
tahu aku telah membuat perasaan ibu terluka. Maafkan Nadia.” Ucap ku lirih
dengan sesekali air mata itu mengarah pada bibirku. Ibu berbalik, memandang ku
tersenyum.
“Melihat
anak ibu yang selalu bertengkar setiap harinya itu membuat ibu sedih. Sesama
saudara harus saling melengkapi, tidak boleh menang sendiri. Tidak ada yang
menginginkan tali persaudaraan nya hancur hanya karena keegoisan termasuk ibu.
“ tutur beliau.
“Lalu aku
harus bagaimana?”
“Akan lebih
baik jika Nadia yang meminta maaf dahulu dengan kakak maupun adong. Jangan
melihat siapa yang membuat masalah tetapi berpikirlah cepat untuk meminta maaf.
Allah menyukai hambanya yang seperti itu.” Tambahnya kembali.
Hati ku
tersentuh dengan setiap kata yang keluar dari hati nurani ibu. Seharusnya aku
berpikir suci seperti itu dengan tidak mengedepankan emosi ku seperti ini. Tak
memperpanjang waktu, ku temui kakak di kamar nya. Ku buka perlahan pintu kayu
yang aku ukir bagian belakangnya dengan nama marga keluarga kami.
“Kakak.”
Ucapku perlahan mengawali. Aku tertunduk lirih
“Kenapa?”
kakak memberi respon yang ku harapkan, menjawab dengan lembut. Ku mendekat dan
memeluk kakak, ku kembali menangis di pelukan kakak.
“Iya, kakak
juga memninta maaf. Kakak salah selama ini. Kita sama-sama salah. Kau tahu,
kita seperti ini karena kita akan dewasa. Sudah, jangan menangis.”
“Seperti
itu kah?”
“Tentu
Cantik. Kakak juga merasa sedih setiap kita bertengkar, kau menangis di dalam
kamar. Itu menyedihkan sekali.” candanya.
“Aku memang
terlihat menyedihkan.” Jawabku lalu tertawa kecil di tengah isak tangis ku. Tak
lama Rafi juga menghampiri kami di kamar, dia membawa pot bunga baru yang
sangat indah.
“Nadia, aku
tahu selama ini aku salah. Aku sering berbicara tidak sopan. Maafkan aku.
Sebagai gantinya, ku berikan hadiah pot bunga ini. Pot Bungan ini sangat
menarik tidak kah kau lihat…” aku memeluknya, lantas ia berhenti berbicara.
“Terimakasih
atas pot bunganya. Nadia sayang Adong. Nadia juga minta maaf yah.” Jawabku,
lalu ku kecup matanya, hidungnya, pipinya dan dahinya. kini, kami bersama
kembali.
Segala sesuatu yang hilang kini hadir
kembali. Keakraban, kebersamaan, candaan dan tingkah laku konyol kami telah
berdampingan dengan kami. Tak akan ku ulangi perbuatan itu, ku jadikan
pelajaran agar lebih bisa memahami watak ku yang sesungguhnya.
***
Hari ini ayah pulang, kurang lebih
telah 2 bulan kami tidak bertemu dengan ayah. Atasan ayah dengan tiba-tiba
memindah tempat kerja ayah ke luar desa yang cukup jauh. Setiap hari kami
merindu pada ayah, tetapi karena kesabaran kami menunggu akhirnya yang
diinginkan terjadi. Akan ku ceritakan semuanya pada ayah, pertengkaran-pertengakaran
alami kami. Sedikit malu rasanya. Bertepatan hari ini ulang tahun ayah.
“Cantik,
kau bawa hadiah ulang tahun untuk ayah yah, biar kakak dan adik yang membawa
kuenya.”
“baik
ibu.”
̶̶ END ̶
0 komentar:
Posting Komentar